Gandrung Banyuwangi Masih Berjuang Melawan Stigma Murahan

14 November 2022 22:34

BANYUWANGI – Sudah bukan rahasia lagi bahwa Gandrung adalah salah satu sarana perjuangan rakyat Blambangan kala menghadapi penjajahan belanda.
Secara fungsi kemudian bergeser kala ada pergantian peran dari Gandrung Laki-laki ke Gandrung Perempuan.
Gandrung tidak lagi ngamen ke kampung-kampung untuk gerilya ataupun menghimpun informasi. Gandrung bertansformasi menjadi seni pertunjukan tradisi yang kemudian menjadi ikon Banyuwangi hingga saat ini.
Orang sering menyebutnya sebagai Gandrung Terob. Pementasan Gandrung yang dilakukan selama semalam suntuk.
Risalah itu tercatat dalam artikel Gandroeng Van Banyuwangi yang ditulis John Scholte pada tahun 1926.
Namun hingga era moderen ini rupanya perjuangan Gandrung masih belum usai. Tak serunyam kala melawan penjajah memang.
Perlawanan Gandrung kini lebih kepada upaya untuk menghapus 'stigma murahan' yang kadung berkembang dan diamini oleh masyarakat.
Status murahan yang kadung disematkan, kemudian menggiring pada pemikiran yang salah kaprah. Kala manggung Gandrung kerab menjadi objek pelecehan. Baik secara verbal maupun aksi.
Hal itu diceritakan oleh Gandrung Lilik yang berasal dari Dusun Gayam Lor, Desa Gumirih, Kecamatan Singojuruh, Banyuwangi.
Kala masih muda dan jaya-jayanya menjadi Gandrung, dia kerab mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan.
Seperti diolok-olok tetangga, dicap sebagai perempuan murahan. Bahkan kala manggung juga sering kali dilecehkan oleh penonton saat nyawer.
"Saat nari dia mepet-mepet, ada juga yang sampai menyentuh anggota tubuh," kata Lilik.
Tak kekurangan akal, Lilik pun memiliki cara untuk menangkal aksi hina tersebut. Agar terlihat profesional, sembari menari dia menggunakan kipas yang dipegangnya untuk memukul ringan ke arah wajah penonton yang resek.
"Ada yang mengerti ada juga yang terus-terusan resek," ujarnya.
Hal yang sama masih kerab dirasakan oleh Lusi Sari Hermawati, Gandrung Muda asal Desa Tamansari, Kelurahan Licin, Banyuwangi.
"Biasanya yang melakukan adalah mereka masyarakat awam yang tidak tahu Gandrung seperti apa. Jadi resek sekali," kata Lusi.
Dia sendiri sangat risih dan terganggu dengan pelecehan semacam itu. Namun sebagai seorang profesional dan menurutnya ini upaya melestarikan kesenian sehingga dia sudah memetakan setiap resiko.
"Pengalaman buruk banyak sekali tapi ya diambil hikmahnya. Saya harus ebih hati-hati dan harus belajar teknik untuk mengantisipasinya," ujar mahasiswi semester 3 Prodi Sendra Tari Unesa tersebut.
Bagi Lusi Gandrung seolah sudah menjadi jalan hidup. Gandrung adalah seni yang kompleks dan bukan sekadar tari-tarian belaka. Sehingga Lusi pun menjalaninya dengan ikhlas dan serius.
"Saya tinggal diperas (proses ritual akhir menjadi Gandrung), tapi saya masih belum berani karena banyak syarat dan pantangan yang harus dipenuhi. Saya masih perlu mempersiapkan diri," ujarnya.
Soal pengalaman Mahasiswi semester 3 Prodi Sendra Tari Unesa ini tidak perlu diragukan lagi. Dia sudah mahir sejak masih duduk di bangku kelas 1 SMA.
"Dulu pertama kali manggung di Lumajang di rumahnya paman. Saat ini sudah sering manggung jadi Gandrung Profesional (nama lain Gandrung Terob)," tegasnya.
Salah satu penulis di Banyuwangi Eko Budi Setianto mencoba membuat gebrakan dengan membuat buku berjudul 'Isun Gandrung'. Lewat buku itu Budi mencoba mengungkap fakta miris tentang kehidupan Gandrung.
"Sudah sejak lama Gandrung ini terdiskreditkan. Sehingga perlu diluruskan dan harua disuarakan," kata Budi.
Menurut Stigma Murahan yang dilekatkan pada Gandrung adalah produk kerusakan pikiran dalam memaknai seni yang harus diluruskan.
Melecehkan Gandrung sama halnya melecehkan nilai perjuangan rakyat Blambangan.
Mengapa demikian? Budi menyebut bahwa hampir semua seni di Banyuwangi termasuk Gandrung ini unik.
Karena tidak sekadar pertunjukan, namun Seni di Banyuwangi juga menjadi sarana penyampaian informasi sejarah, pesan kemanusiaan dan pesan spiritual.
"Informasi ini harus diantarkan kepada setiap masyarakat. Supaya kesalahpahaman dalam menai seni ini bisa diluruskan," tandasnya.
Editor: Doi Nuri
Tags
Gandrung Banyuwangi Masih Berjuang Melawan Stigma Murahan
APA REAKSI ANDA?
0 Sangat Suka
0 Suka
0 Tertawa
0 Flat
0 Sedih
0 Marah